Wawancara dengan Victor Hartono: Kami Suka Banget dengan Sport Ini, Suka Sekali!
MULANYA, Victor Rachmat Hartono berpikir bahwa kemenangan-kemenangan Indonesia pada Piala Thomas adalah hal yang alamiah, kehendak alam, atau bahkan suratan takdir. Victor menggenggam jenis asumsi itu karena Indonesia begitu perkasa pada turnamen bulu tangkis beregu putra paling prestisius di dunia tersebut.
Sejak 1994 sampai 2002 alias dalam lima edisi beruntun, Indonesia selalu menjadi juara. Tidak ada satu negara pun yang mampu menyentuh dominasi Indonesia.
Tetapi, alangkah terkejutnya Victor saat mendapati fakta bahwa pada 2004, justru ketika bermain di kandang sendiri Istora Senayan, tim Indonesia malah gagal total. Jangankan mempertahankan gelar, Indonesia bahkan sudah tumbang di semifinal. Indonesia disingkirkan negara yang belum pernah meraih gelar Piala Thomas, Denmark dengan skor 2-3.
Victor yang ketika itu hadir untuk menonton langsung di Istora Senayan begitu terhenyak dengan hasil tersebut. Dia menyadari bahwa dunia telah berubah. Indonesia bukan lagi negara bulu tangkis terkuat di sektor beregu putra.
Sejak saat itu, Victor mengalami semacam kesadaran baru. Dia lalu bertekad untuk lebih banyak terlibat dalam pembenahan bulu tangkis di Indonesia. Dia memulai dengan perbaikan manajemen di PB Djarum, sebuah klub bulu tangkis yang didirikan oleh sang ayah, Robert Budi Hartono pada 1969.
Victor kemudian merekrut orang-orang yang dia rasa cakap dalam melakukan pembinaan para pemain muda. Pada 2004 itu juga, PT Djarum memulai pembangunan gedung olahraga baru yang terletak di Kecamatan Jati, Kudus. Dua tahun kemudian, gedung yang menelan dana pembangunan hingga Rp30 miliar itu diresmikan.
Gedung itu berdiri di atas lahan seluas 29.450 meter persegi, memiliki 16 lapangan, dan asrama dengan 40 kamar yang terpisah untuk atlet putra dan putri. Selain itu GOR Djarum dilengkapi ruang pertemuan, ruang perkantoran, ruang makan, ruang kebugaran, ruang komputer, ruang audio visual, dan perpustakaan. Gedung ini bahkan disebut-sebut sebagai fasilitas pembinaan bulu tangkis terbaik di Asia.
Setelah gedung megah siap, pada tahun yang sama PB Djarum mulai mencanangkan program penjaringan atlet-atlet muda melalui Audisi Umum Beasiswa Bulu Tangkis. Sejak saat itu, ajang yang melibatkan ribuan pemain muda berusia 11 dan 13 tahun itu berjalan konsisten dan hanya berhenti dua kali. Yakni pada 2020 dan 2021 akibat pandemi global Covid-19.
Mengapa PB Djarum sangat persisten dalam melakukan pembinaan bulu tangkis di Indonesia selama bertahun-tahun? Mengapa mereka ingin terlibat intens pada membangun ekosistem bulu tangkis Indonesia yang berkualitas?
Berikut wawancara saya dengan Victor Hartono, Chief Operating Officer PT Djarum dan Presiden Direktur Djarum Foundation.
Pak Victor, Djarum sudah lebih dari 50 tahun konsisten mengurus bulu tangkis. Hal apa yang membuat Djarum bertahan selama itu meskipun beberapa tahun lalu pernah diterpa penolakan-penolakan dan suara-suara miring?
Ya karena kami suka banget ya sama sport ini ya. Suka sekali! Dan kondisi ekonomi kami masih memungkinkan untuk membantu terus. Ya kami, selama kami masih kuat, kami bisa, kami akan berikan apa yang kami punya. Ada pamrihnya juga. Pamrihnya adalah mau melihat Indonesia jaya dan Indonesia bersatu. Pamrihnya itu.
Selain itu, kami mesti jalanin roda regenerasi di PB Djarum yang sudah ada sejak tahun 1969. Dan kami masih enggak ada itikad untuk berhenti kontribusi.
Mengapa timbul perasaan puas ketika melihat Indonesia berjaya di bulu tangkis?
Apa ya? Ya, intinya ada beberapa motivasi yang membuat manusia bisa puas ya. Misalnya kekayaan, ketenaran, dan kejayaan. Kalau kami yang nomor tiga itu. Ya, jujur aja, kami pingin lihat Indonesia jaya, kami pingin lihat Indonesia bersatu dalam kejayaan sport. Itu motivasi utamanya sih.
Cari uang juga enggak di sini (bulu tangkis) toh. Yang ada, kami ngeluarin dana. Kami ini cari nafkahnya di tempat lain. Tapi dalam hal badminton, ya kami emang ada pamrihnya. Pinginnya itu. Dan, ini sesuatu yang baik untuk seluruh negara termasuk bagi kita sendiri dong. Karena kami juga orang Indonesia. Ya motivasinya jujur sih itu.
Harkat dan martabat suatu negara itu antara lain didapatkan dari kejayaan sport dan kami lihat ya, kami bisa bantunya di bidang yang kami bisa gitu. Yaitu, sampai hari ini, yang paling kami bisa adalah badminton.
Pak Victor dulu pernah cerita ke saya, kalau tidak salah kesadaran untuk semakin membangkitkan bulu tangkis Indonesia itu ketika Pak Victor menonton Piala Thomas 2004 di Istora. Saat itu, kita kalah di semifinal melawan Denmark. Secara pribadi, mengapa kekalahan itu begitu menggugah?
Begini, saya ini gede di era melihat Om Rudy Hartono jaya, Om Swie King jaya. Salah satu kenangan saya adalah saat tahun 1982 kita kalah sama RRC di final Piala Thomas.
Itu pertama kali RRC ikut dan Indonesia kalah. Sebelumnya kan mayoritas melawan Denmark sama Malaysia. Terus pada tahun 1984, kita menang dari Tiongkok. Wah, puas banget saat saya nonton di TV!
Terus habis itu, kita ngalamin macem-macem naik dan turun. Terus habis itu tahun 1994 sampai tahun 2002 kita menang Thomas Cup melulu. Kayaknya ini take for granted ya karena emang kita ini jago kok, ha..ha..ha..
Eh pada 2004, Indonesia kalah di depan muka saya. Saya kaget, wah kok kalah? Nah, setelah itu saya pingin semakin terlibat. Ini harus bagaimana dan yang lebih baik itu bagaimana. Begitu.
Maksudnya, saat itu Pak Victor langsung ingin sekali terlibat secara lebih dalam ya?
Iya. Jadi saya pengin lihat lagi, apakah seluruh ekosistemnya sudah bagus apa belum? Karena memperbaiki kondisi itu tidak bisa cuma dilihat dari aspek misalnya oh pelatihnya begini, pemain begitu. Enggak seperti itu. Tapi melihat seluruh ekosistem bulu tangkisnya itu baik atau enggak?
Motivasi pemain itu tinggi atau enggak? Apa yang mereka cari? Apakah mereka bisa mendapatkan itu? Apakah mereka bisa mengincar apa yang mereka inginkan atau enggak?
Jadi saya lihat waktu tahun 2004 itu ada beberapa hal yang mendemotivasi pemain. Pendek kata, sistem perbulutangkisannya kurang baik. Dan itu bisa kelihatan dari mantan pemainnya aja yang enggak pengen anaknya jadi pemain.
Itu kan berarti, boleh ditanyain dong, lho kenapa begitu? Apa ada yang salah? Jadi kalau orang tuanya sendiri yang meng-endorse karier anaknya, berarti ekosistemnya baik kan?
Setelah Thomas Cup 2004, hal pertama yang Pak Victor perbaiki itu apa? Dimulai dari mana?
Macam-macam lah. Kita kan bukan di manajemen PBSI waktu itu ya. Ya, kita selalu ngelihat dari diri sendiri dulu. Di Djarum sendiri apakah sudah baik? Manajemennya? Orang-orang terbaik apakah sudah bantu PB Djarum? Terus ya saya cari di dalam timnya Djarum sendiri. Antara lain Pak Yoppy Rosimin. Dia mantan pemain tetapi waktu itu jadi senior manajer keuangan. Lalu kami tarik. Terus kita tarik Fung (Permadi). Tarik macam-macam lah, ha..ha..ha..
Berarti dimulai dari manusia-manusianya dulu ya?
Ya! Untuk head coach waktu itu Pak Anwari (mendiang HM Anwari) udah mulai tua. Terus ini penggantine sopo?
Terus kita cari Fung. Pokoknya dari keluarga Djarum sendiri dulu. Siapa yang bisa bantu untuk menata masa depan gitu. Kita cari orang-orang yang bisa bantu membuat Djarum dan Indonesia punya masa depan cerah.
So, kita punya orang-orang yang lumayan lah. Tetapi kita selalu masih mau terima lagi kalau ada coach yang baik untuk menata masa depan.
Lalu setelah itu antara lain membuat GOR. Pada tahun 2004, GOR kita kan jelek, ha..ha..ha..Saya lihat, apakah udah segini aja? Lalu kita bangun (GOR Djarum di Jati, Kudus) dan dua tahun kemudian baru jadi. Saya itu tipe-tipe yang kayak gitu.
Ide membangun GOR Jati awalnya dari mana?
Sebenarnya, tanahnya sudah dibeli orang tua saya untuk fasilitas olahraga. Waktu saya kecil, saya sudah dikasih lihat tanah ini. Mama dan papa saya sudah rencana bikin gini, gini, gini. Tetapi kondisi keuangannya enggak bagus.
Waktu itu, kita masih enggak bisa. Dan orang itu mesti tahu diri lah. Kalau kondisi keuangannya enggak bisa, ya jangan dipaksain dong. Tapi tahun 2004 lalu 2006, kita dalam kondisi yang bagus gitu. Karena salesnya juga sudah naik. Jadi ya mampu.
Tahun 2004 ada momentum dan ada kesadaran. Eh uang juga lagi bagus..
Dulu enggak punya duit.. ha..ha..ha. Ya intinya ada kombinasi macem-macem. Kalau enggak punya duit ya enggak bisa.
Audisi Umum PB Djarum dimulai sejak 2006 nyaris tanpa putus. Hanya putus ketika pandemi Covid-19. Apakah Pak Victor sudah puas dengan audisi ini?
Bagi saya memuaskan. Tetapi di luar ini, kita masih juga terima yang enggak audisi umum ya. Ada audisi khusus juga. Audisi khusus itu ada rekomendasi dari klub mana, klub mana. Mereka lalu datang dan try out. Antara lain (Mohammad) Ahsan ya waktu itu dapat dari audisi khusus ini.
Kami ini masih terbuka kok. Coachnya kita itu kalau di turnamen-turnamen juga matanya masih terbuka kok. Siapa tahu ada yang cocok. Mungkin ada pemain yang masih di klub yang kecil dan enggak bisa ngebawa dia ke level yang lebih tinggi. Basically, kita ini fokus pada pemain SMP dan SMA lah. Sedangkan pemain SD masih ada di klub-klub yang lebih kecil.
Dari semua Audisi Umum PB Djarum, mana yang paling memuaskan bagi Pak Victor?
Saya enggak punya jawaban spesifik tahun mana yang paling memuaskan. Tapi saya tahu bahwa ada yang gagal tahun ini tapi tahun depannya bisa daftar lagi dan berhasil. Misalnya seperti Kevin Sanjaya yang pada 2006. Dua daftar tetapi nggak bisa terus. Tapi pada 2007, dia daftar lagi dan akhirnya masuk kan? Terus dia jadi salah satu favorit saya untuk sparring waktu itu ha..ha..ha..
Kan memang waktu dari kecil, bakatnya Kevin itu tinggi ya? Jadi saya inget dia terus. Tapi meski begitu saya enggak punya satu tahun favorit.
Dari semua proses audisi ini, apa hal yang kurang menurut Pak Victor ?
Sudah nyaris baik sekali ya. Memang masih kurang memproduksi tunggal putra dan tunggal putri yang hebat menurut saya. Tetapi ini bukan karena audisinya. Di Djarum dan seluruh Indonesia menurut saya kurang banyak. Enggak seproduktif ganda putra.
Sektor ganda memang cenderung lebih perform ya, kenyataannya kan gitu. Tapi anyway, semuanya masih panjang lah. Semuanya masih naik dan turun. Itu yang Tiongkok katanya gudangnya pemain tunggal, sekarang lagi jeblok juga..ha..ha..ha..
Denmark kayaknya lagi bagus. Ada Viktor Axelsen. Tetapi oke lah, ada masanya mereka. Di Malaysia setelah ditinggal Lee Chong Wei ada Lee Zii Jia. Oke, tapi bukan berarti tunggal Malaysia ditakutin semua sih..ha..ha..ha..
Artinya kerja ini masih sangat panjang ya?
Masih panjang lah!
Napas juga harus panjang?
Yak! Napas panjang itu tergantung ekonomi negara. Karena, yang ngedanain ini semua kan kegiatan bisnisnya grup Djarum. Tetapi ini semua sangat tergantung sama kemakmuran Indonesia. Makmurnya Indonesia, tergantung dengan persatuan Indonesia. Jadi kita ini ngerti, dengan bantu persatuan Indonesia, maka kita bantu kemakmuran Indonesia.
Pak Victor sering mengatakan kejayaan sport akan mampu menyatukan bangsa..
Iya, iya…Tapi kejayaan sport lho ya, bukan kesengsaraan sport. Kalau ada sport yang suka bikin sengsara, maka itu nggak menyatukan bangsa. Ha..ha..ha..
Saya ini setuju porsi APBN untuk sport diperbesar. Terutama meningkatkan fasilitas olahraga di sekolah-sekolah. Kalau bisa itu yang dinaikkan. Enggak harus lapangan bulu tangkis lah, ada lapangan atletik juga atau apalah gitu. Atletik itu penting juga karena itu adalah ibunya olahraga.
Kita juga membangun lapangan atletik dan sepak bola di Kudus untuk anak-anak kecil. Jadi kita enggak ngomong doang sebenarnya..ha..ha..ha.
Kali ini soal organisasi, Pak. Pada periode ini Pak Victor tidak terlibat secara langsung di PBSI. Itu tidak masalah ya?
Enggak apa-apa. Kita sudah sering enggak terlibat. Sebelum-sebelumnya, kita juga enggak terlibat langsung. Waktu awal 2000-an, waktu tahun 1970-an, 1980-an, 1990-an kayaknya kita enggak terlibat. Kita ini emang tradisinya sebagai supplier.
Waktu zamannya Om Swie King, Mas Hari (Hariyanto Arbi), Sigit (Budiarto), dan lain-lain kita ya enggak terlibat. Enggak apa-apa toh? Sudah biasa. Anyway, periode ini kita enggak terlibat, tapi kita bisa mengalokasikan dana buat bantuin Covid. Ini juga berkah ya. Jadi dananya bisa buat bantuin orang banyak.
Sisi terangnya seperti itu ya?
Ya antara lain kan itu maksudnya. Dana yang sama, kalau waktu itu kita mesti bantuin bulu tangkis nasional dan mesti bantuin kasus Covid kita sendiri kan berat ya. Di mana pun, dana itu ada batasnya lah.
Kita selama 2020, 2021, sampai sekarang pun sudah memberikan yang benar lah. Jadi, sebisanya membantu di lingkungan sekitar kita. Kita bantuin segala macem ke rumah sakit, vaksinasi gratis, bla..bla..bla. I think, waktu itu lebih tepat ya.
Kita memang tidak harus kok untuk membantu bulu tangkis nasional terus. Kalau kondisi badan sehat, lalu bantu orang lain oke ya. Tapi kalau kondisi badan kurang sehat, ya kita mesti memprioritaskan lingkungan sekitar kita. Saya rasa itu cukup jelas dong, musti memprioritaskan lingkungan kita dulu ya.
Kepemimpinan PBSI masa kini juga mampu kok. Saya lihat, mereka orang-orangnya resilient, apa itu, tahan banting. Saya lihat, orang-orangnya tahan banting dan mampu. Kenapa mesti kita bantuin kalau memang mereka mampu? Anyway, kita juga banyak urusan lain di sekitar kita.
Ya, tetap kita bantu olahraga, tetapi sebisanya kita. Yaitu antara lain bikin lapangan atletik, terus anak-anak nanti bisa lebih aktif berolahraga. Itu penting lho buat pendidikan jasmani, buat perkembangan seorang anak ya.
Dan kita harap, lebih banyak lagi perusahaan di seluruh Indonesia untuk lebih aktif support olahraga di daerahnya. Adain turnamen lokal. Nanti kita juga dengan atletik mau adain turnamen antar sekolah. Ya gitulah, yang positif-positif saja. Banyak cara untuk bantu olahraga Indonesia, enggak harus dengan manajemen di dalam PBSI. Kita lihat banyak sekali opsi lain. And it’s fun!
Kembali ke Audisi Umum PB Djarum. Kalau memilih fokus membina anak-anak kecil usia 11 tahun dan 13 tahun, artinya jauh dari lampu sorot. Normalnya, orang akan menyorot jika ada prestasi besar tingkat dunia. Mengapa mau mengurus hal yang jauh dari lampu sorot?
Menurut saya, itu pandangan yang salah ya kalau kayak gitu. Pembinaan itu sangat penting. Sekarang tergantung kuatnya di mana lah. Misalnya ada yang kuat mengajar di universitas ya konsentrasi di universitas. Maksudnya, dia tidak bisa ngajarin anak TK.
Terus ada yang bisanya ngajar di SD dan TK. Dia kan belum tentu bisa ngajarin orang di universitas dengan baik kan?
Kebetulan, kita ini porsinya di SMP dan SMA dan kita kuat di sini. Jadi, kita tidak mesti ngurusin yang dari awal, ngajarin teknik bulu tangkis dasar gitu toh.
Jadi kita kerjasama dengan ekosistem yang bagus dan pembinaan itu enggak dilakukan oleh Djarum sendirian. Tetapi dengan segitu banyak klub-klub kecil di seluruh nusantara. And then, bisa ketemu di audisi umum. Mereka bisa maju dari SD ke SMP, lalu ke SMA.
Saya berharap akan lebih banyak perusahaan di Indonesia yang berpartisipasi untuk meningkatkan fasilitas olahraga. Atau mendukung klub kecil atau kalau bisa mendukung akademi bulu tangkis dengan intensitas lebih banyak. Itu kita sangat welcome.
Yang bener itu kan kayak di Inggris misalnya. Di sana kan klubnya banyak yang bagus-bagus. Jangan kayak Jerman yang bagus cuma Bayern Munich gitu, ha..ha..ha..Itu kan kondisinya jelek kalau menurut saya. Yang bener itu kayak oh ada Manchester United, Manchester City, atau Arsenal. Nah itu sehat menurut saya.
Kita harapannya akan lebih banyak lagi perusahaan yang let’s say yang mau bikin akademi di Palembang, di Medan, di Samarinda, di lebih banyak di kota-kota besar lain. Misalnya di Surabaya, Jakarta, Bandung. Kalau akademinya lebih banyak, maka level perbulutangkisan Indonesia akan lebih tinggi.
Jadi jika ekosistemnya bagus, maka bulu tangkis Indonesia akan jauh lebih maju?
Iya, itu yang diharapkan. Saya bilang, jika lebih banyak klub bulu tangkis yang ngadain audisi umum maka akan lebih bagus. Itu memotivasi loh buat anak-anak. Kan enggak bisa semuanya datang ke Kudus, mungkin yang lokal-lokal aja gitu ya.
Let’s say ada audisi umum di Surabaya terus bisa narik-narik yang dari Mojokerto, Gresik, Sidoarjo. Kalau gitu kan biayanya lebih enteng. Ujung-ujungnya, mereka akan main buat klub di Surabaya.
Misalnya Audisi Umum 2022, yang daftar ada 2.400 anak. Eh tahunya yang datang 1.700. Sebagian mungkin ada masalah dana atau terlalu jauh. Atau enggak bisa ngambil liburan terlalu panjang karena sekolah segala macem. Itu kan bisa. Atau ada alasan-alasan lain misalnya lagi sakit.
Kalau let’s say sakitnya hari Senin, audisinya Kamis, dia jadi enggak bisa berangkat. Tapi kalau dia sama-sama di Surabaya mungkin sakitnya Senin, eh Kamis udah baik, yaudah dia pergi aja gitu. Orang sama-sama di Surabaya, atau cuma dari Mojokerto ke Surabaya gitu. Ya antara lain begitulah, saya sih berharap kok lebih banyak itu.
Kayaknya, dalam sejarahnya, di Indonesia ini ada klub-klub kuat kayak Jaya Raya, Tangkas, Suryanaga, Exist, SGS, atau Mutiara. Mereka kan juga ngambilnya enggak yang dari SD gitu. Mereka juga klub SMP-SMA yang umurnya 12 tahun ke atas. Kurang lebih sama ya 12 tahun atau 13 tahun gitu lho, sudah masuk SMP-SMA. So, lebih banyak yang aktif ya lebih bagus.
Dalam konteks pembinaan, Pak Victor berharap apa dari pemerintah?
Kalau dari pemerintah ya APBN-nya tolong dipakai buat fasilitas olahraga. Ini ada negara namanya Amerika Serikat, itu negara enggak punya kementerian olahraga lho. Tetapi kementerian pendidikannya itu ngerti bener gunanya olahraga untuk bangsa.
Jadi kementerian pendidikan bisa saja kerja sama dengan kota-kota setempat di provinsinya, atau kabupatennya, atau kotamadyanya, atau desanya untuk bikin fasilitas-fasilitas olahraga yang banyak.
Terus perusahaan-perusahaan lokalnya yang ngadain turnamen. Let’s say, kalau di Atlanta gitu ya yang ngadain turnamen itu Coca-Cola dong. Jadi, perusahaan lokalnya situ yang ngadain turnamen. Terus yang ikut itu SD-SD-nya. And then yang jadi sponsor Coca-Cola.
Jadi kayak win-win ekosistem. Nah, pemerintah bisa bantu dari fasilitas olahraga. Karena mereka punya dana untuk infrastruktur dan punya tanahnya. Kalau swasta itu seringkali kepentok tanah, ha..ha..ha..Tanah negara kan banyak tuh. Yang bengkok desa, segala macem itu. Kalau menurut saya ya itu.
Menurut Pak Victor yang lebih pas dengan kita itu sistem Amerika atau sistem Tiongkok? Katakanlah di Tiongkok, state bisa “memaksa” anak-anak untuk menjadi atlet.
Sistem Tiongkok bisa diterapkan kalau partainya tidak pernah ganti. Mereka komunis, satu partai enggak pernah ganti. Jadi mereka enggak cuma bisa bikin RAPBN 5 tahun bla..bla..bla.. Seratus tahun mereka juga bisa, ha..ha..ha.
Dan kalau enggak setuju sama saya, ya di-dor. Tapi kita ini lebih mirip Amerika Serikat, partai politiknya bisa ganti-ganti kekuasaannya setiap beberapa tahun kan berganti.
Tetapi kalau sudah bangun infrastruktur olahraga, partainya apa aja, itu lapangan atletik tetep saja ada di situ. Dan nggak rebutan budget lagi. Kalau ngandelin budget negara, setiap tahun juga akan rebutan.
Saya bilang, paling cocok buat negara demokrasi itu pemerintahnya bantu infrastruktur olahraga. Habis itu swastanya yang jalan. Itu liga-liga sepak bola, voli, badminton, tenis di Amerika Serikat itu enggak diatur ama kementerian olahraga. Sama swasta semua. Dan alhasil, Olimpiade menang berapa medali itu? Itu negara yang enggak pake kementerian olahraga lho. Tetapi mereka menghasilkan berapa medali itu? Bayangin!
Dan backbone-nya sekolah sampai kampus ya..
Backbone-nya adalah sejak SD sudah banyak yang berpartisipasi. Lalu ada turnamen SMP pula, SMA pula, ya itu model yang menurut saya pas.
Apakah bisa diterapkan di sini?
Ya, contek aja ya. Kenapa enggak? Paling cocok lho. Nah ini, sorry ya kalau negara kecil kayak Singapura mungkin perlu keterlibatan pemerintah. Itu Singapura juga tuh partainya enggak pernah ganti itu, mirip-mirip sama RRC itu, ha..ha..ha..
Tapi kalau negara yang partainya berkuasa ganti-ganti, udahlah. Apalagi kalau negara itu gede ya. Gedenya Indonesia itu, dari Sabang-Merauke kan seperti Boston sampai San Francisco hampir sama. Rakyatnya juga hampir 300 juta. Udah jelas dong, kita musti copy yang mana. Ya itu harapan lah.
Ini soal terpusatnya Jawa sebagai penghasil atlet misalnya bulu tangkis. Pak Victor apa tidak punya harapan, cita-cita atau mungkin keinginan untuk melebarkan sayap ke pulau-pulau lain di Indonesia Timur?
Sebenernya kalau bakat-bakat yang main bulu tangkis dan nantinya mewakili Indonesia di turnamen seperti Thomas Cup dan Uber Cup itu kebetulan ada yang dari Kalimantan, dari Palembang, dari Sulawesi Utara. Dari Papua ada Chico (Aura Dwi Wardoyo) dan lain-lain. Itu bakat ada di mana-mana dari seluruh Indonesia. Cuman kebetulan akademinya yang utama ada di Pulau Jawa.
Ini karena memang sejarahnya seperti itu. Sebab, mereka didukung perusahaan-perusahaan swasta yang aktivitasnya memang di Jawa, ya. Jawa lebih industrialisasi duluanlah. Tapi hari ini, jujur aja ya, bisnis pertambangan, perkebunan di luar pulau Jawa itu banyak. Itu sangat-sangat mungkin bagi mereka untuk bikin akademi sendiri, didanai oleh dana swasta. Mirip kita lah. Cuman, basisnya di luar pulau Jawa.
Dengan akademi yang banyak, lalu akses semakin mudah, maka partisipasi akan tumbuh, dan banyak bakat-bakat bisa dijangkau. Akan begitu ya?
Itu harapan saya sih, cuman ini masih PR. Jadi ekosistem bulu tangkisnya memang mesti dibangun sama-sama, harus rame-rame sih.
Kalau saya sih, akan cari cara untuk ngasih glory ya, ngasih kejayaan untuk yang di luar pulau Jawa. Klub-klubnya di sana akan merasakan glory, and then mereka termotivasi untuk terus berkontribusi di bulu tangkis gitu. Mungkin ada klub terbaik di Sumatra, klub terbaik di Sulawesi, di Kalimantan. Ini boleh dikaji.
Seandainya, katakanlah ada 20 perusahaan yang punya komitmen seperti Djarum, dampaknya tentu akan luar biasa ya?
Akan membantu sekali! Belum tentu kita akan mendominasi ya? Karena sudah ada kejadian seperti itu. Ada 20 perusahaan yang berkontribusi di bulu tangkis misalnya di Jepang. Honda, Toyota, Hitachi, dan lain-lain. Itu sudah kejadian dan Jepang maju lho. Untuk negara seukuran mereka dengan populasi anak muda yang kecil.
Tapi bukan berarti langsung Jepang pasti juara dunia ya, tapi Uber Cup menang tuh beberapa kali. Thomas Cup belakangan menang, terus masuk semifinal, tetapi dikalahin kita sih..ha..ha..ha.
Inspirasi itu sebenarnya ada di mana-mana ya?
Ya, ya, ya. Bedanya saya antara tahun 2004 sama tahun ini, saya lebih ngerti ekosistem bulu tangkis sedunia. Oh, negara ini cara majuin ekosistemnya bagaimana? Yang itu bagaimana? Ya kenapa enggak hal-hal yang bagus lalu kita adopsi? (*)