Syabda Belawa Berada di Trek Prestasi yang Baik, tetapi Tuhan Keburu Memanggilnya
SYABDA Perkasa Belawa sebenarnya sudah menancapkan target-targetnya. Kepada saya Oktober 2022 lalu, Syabda mengatakan dia membidik target menembus 100 besar dunia. Hanya dengan peringkat itulah, dia memiliki kesempatan bermain pada ajang-ajang BWF World Tour.
Setelah kemenangan atas juara dunia junior 2016 asal Tiongkok Sun Feixiang di Indonesia International Challenge 2022 itu, Syabda mengucapkan intensi utamanya pada 2023 dengan sangat yakin. Padahal, saat itu, dia baru berada di posisi 204 dunia. Namun, sinar mata dan tekanan suaranya menyiratkan sebuah keyakinan yang sangat besar. Sebuah optimisme yang membuncah.
“Selain dari ketenangan di dalam lapangan, yang pengen saya perbaiki lagi dari segi fisiknya. Juga mentalitas dalam pertandingan,” kata Syabda ketika itu.
“Kalau dari saya sendiri, sebenarnya penampilan sepanjang 2022 belum puas ya. Karena terkadang saya bisa nerapin permainan yang sudah saya latih setiap hari. Tapi terkadang saya punya kesulitan. Dari kesulitan itu, permainan saya nggak bisa keluar, mungkin karena kurang tenang di lapangan atau kurang sabar, terlalu terburu-buru, dan lain sebagainya. Jadi grafiknya masih belum konsisten. Menurut saya, harus bisa lebih konsisten lagi ke depan,” tambahnya.
Syabda benar-benar membuktikan targetnya. Dia juga memperbaiki kekurangan-kekurangan dalam permainannya. Sebulan kemudian, dia menjadi juara Malaysia International Series 2022. Itu gelar kedua Syabda pada 2022. Sebelumnya, pada Juni, dia menjadi kampiun Lithuanian International 2022.
Syabda memulai perjalanannya di 2023 dengan baik. Pada akhir Januari hingga awal Februari lalu, dia kembali menjadi juara. Kali ini pada ajang Iran Fajr Badminton International Challenge 2023.
Ranking Syabda melonjak. Dari 204 dunia menjadi 88 dunia pada Februari 2023 dan berada di posisi 90 dunia per Maret tahun ini. Tetapi, angan-angan untuk bermain pada ajang World Tour bersama para tunggal putra senior Indonesia seperti Anthony Sinisuka Ginting, Jonatan Christie, sampai Chico Aura Dwi Wardoyo tidak pernah terealisasi. Berada dalam sebuah dini hari yang sangat kelam, Senin 20 Maret 2023, Syabda meninggal dunia. Dia baru berusia 21 tahun.
Syabda meninggal dalam kecelakaan lalu lintas di jalan tol Pemalang, Jawa Tengah. Mobil yang dikendarai oleh ayahnya, Muanis Hadi Sutamto, menabrak kendaraan lain dari belakang. Selain Syabda, sang ibu Anik Sulistyowati meninggal dunia. Anik tewas pada usia 49 tahun.
Sang ayah mengalami luka ringan dan guncangan mental luar biasa berat. Sedangkan Diana Sakti Anistyawati (kakak Syabda) dan Tahta Bathari Cahyaloka (adiknya) mengalami patah tulang. Ketiganya masih menjalani perawatan di Rumah Sakit Islam Al Ikhlas, Pemalang.
Dalam keterangan resmi PP PBSI, Syabda dan keluarganya berada dalam perjalanan dari rumahnya di Jatih Asih, Kota Bekasi menuju Sragen, Jawa Tengah pada Minggu (19/3) malam. Mereka hendak menghadiri pemakaman sang nenek dari pihak ibu yang meninggal dunia pada Minggu (19/3) malam.
“Kami di PB Djarum begitu sedih dan merasa sangat kehilangan. Syabda adalah salah satu pemain yang sangat diharapkan bisa berkiprah baik di dunia internasional. Saya hampir kehilangan kata-kata. Sedih sekali. Padahal dia berada dalam trek yang sangat baik,” kata Manajer PB Djarum Fung Permadi kepada saya.
Syabda adalah tunggal putra potensial PB Djarum yang sukses menembus pelatnas PP PBSI pada 2018. Dalam lembaran kenangan Fung, Syabda adalah pemain muda dengan bakat besar. Atribut permainannya komplet. Dia solid dalam bertahan dan menyerang. Dia juga memiliki kecepatan dan antisipasi permainan yang sangat baik.
Fung mengatakan Syabda adalah pemain yang istimewa terlebih jika bermain dalam turnamen beregu. Syabda selalu bisa diandalkan oleh tim PB Djarum. “Dalam turnamen beregu, dia selalu memiliki tenaga ekstra. Sama sekali tidak kendur,” ucap Fung.
Dengan kemampuan menyerang dan bertahan yang dia miliki, Fung mengatakan bahwa Syabda bisa bertarung dalam berbagai macam situasi. Dia juga mampu menghadapi lawan-lawan yang punya beragam karakter. Sebetulnya, sebelum kecelakaan yang merenggut nyawanya itu, Syabda berusaha untuk terus mengejar kematangan dalam sisi mental dan permainan. Terutama untuk menghadapi turnamen-turnamen internasional dengan level yang jauh lebih tinggi.
”Dia sedang berada di dalam treknya. Dia bisa juara di Malaysia lalu di Iran. Kemudian, dia diambil dengan cara seperti ini…..Kami semua terpukul. Sangat-sangat terpukul,” suara Fung tiba-tiba tercekat.
Pelatih tunggal putra PB Djarum Imam Tohari mengatakan bahwa Syabda adalah anak yang sangat disiplin dan fokus. Tidak hanya dalam latihan tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari.
“Syabda mempunyai skill teknik dan fisik yang mumpuni untuk bisa bermain di kelas atas dunia tunggal putra. Tinggal prosesnya saja. Itu harapan kami, para pelatih PB Djarum,” kata Imam yang juga pelatih junior mantan tunggal putra nomor satu dunia asal Jepang Kento Momota itu.
Imam menambahkan bahwa Syabda memiliki modal yang sangat besar untuk menjadi pemain kelas dunia. Dia bisa bermain dari area belakang dan depan dengan sama baiknya. Smesnya menyengat. Permainan netnya halus. Dia punya antisipasi dan insting yang tajam.
Syabda yang menjadi pemain PB Djarum sejak 2013 itu hanya perlu menjalani proses yang baik dan benar. Terutama dalam meningkatkan kematangan mental dan pikiran saat berada dalam pusaran tekanan pertarungan yang sangat intens. Jika Syabda menjalani proses yang baik, Imam yakin Syabda suatu saat bisa menjadi pemain elite dunia. “Saya kaget. Sedih banget seakan nggak percaya. Secepat itu dia dipanggil oleh yang Maha Kuasa,” ucap Imam.
Kepergian mendadak Syabda menggoreskan kepiluan mendalam bagi rekan-rekannya di Pelatnas PP PBSI. Salah satunya dari Christian Adinata, pemain PB Tangkas Jakarta yang juga teman sekamar Syabda di asrama Pelatnas PP PBSI Cipayung, Jakarta Timur.
"Saya merasa kehilangan banget dengan meninggalnya Syabda, teman sekamar saya. Syabda itu orangnya selalu nyenengin, selalu bisa membuat mood jadi tambah bagus. Dia juga sangat rajin dan tekun. Dia selalu jadi penyemangat bagi rekan-rekannya, baik saat latihan atau ketika bertanding," kata Christian dikutip dari siaran pers PP PBSI.
***
Hampir pukul 18.00, di Bangkok, Thailand. Saat itu, Syabda mulai memasuki lapangan Impact Arena untuk membela Indonesia melawan Korea Selatan di laga terakhir Grup A Piala Thomas 2022.
Kedudukan saat itu sama kuat 2-2. Anthony Sinisuka Ginting dan ganda putra dadakan Mohammad Ahsan/Kevin Sanjaya Sukamuljo mengalami kekalahan di pertandingan pertama dan kedua. Indonesia tertinggal 0-2. Indonesia berhasil bangkit, menyamakan kedudukan 2-2 lewat kemenangan Shesar Hiren Rhustavito dan Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto.
Syabda akan tampil sebagai penentu hasil Indonesia. Dia menghadapi Lee Yun-gyu di laga terakhir. Pertandingan itu menjadi debutnya pada turnamen internasional 2022, menjadi debutnya pada ajang beregu level senior, menjadi debutnya pada ajang sebesar Piala Thomas.
Usia Syabda saat itu baru 20 tahun. Posisinya dalam peringkat dunia juga masih berada di nomor 636. Jadi, dia tidak menyangka bakal mengemban tanggung jawab sebesar itu.
Pada pagi hari sebelum pertandingan, saat berlari ringan, Syabda tak mampu menjawab sebuah pertanyaan sederhana yang dilontarkan Ginting, senior juga panutannya. “Kalau misalnya Indonesia imbang dua sama bagaimana?”
Syabda diam kebingungan mencari jawaban. Kemudian dia malah tertawa canggung. Sebab Syabda meramalkan bahwa pertandingan melawan Korea Selatan itu sudah berakhir sebelum dirinya mendapat kesempatan tampil. Syabda percaya, para seniornya itu pasti bisa membereskan segalanya tanpa harus bergantung pada dirinya.
Nyatanya, celetukan iseng Ginting malah benar-benar terjadi. Syabda mencoba membalas kepercayaan yang telah diberikan kepadanya dengan melakukan yang terbaik. Sebab Syabda merasakan ada kekuatan tambahan ketika mulai memasuki lapangan.
Dia seperti menyerap energi besar dari gemuruh Impact Arena. Bukan hanya dari penonton, tapi juga dari para seniornya. Hari itu, Rabu 11 Mei 2022, selama 68 menit, Syabda akan merasakan salah satu momen terbaik dalam perjalanan karier bulu tangkisnya yang singkat.
Momen pertama terjadi pada game pembuka. Syabda sedang tertinggal 6-10. Lee berhasil mendapatkan tiga poin beruntun karena Syabda membuat beberapa kesalahan. Mulai dari shuttlecock yang menyangkut di net hingga smes yang terlalu melebar.
Syabda tetap fokus dan tidak ingin kehilangan momentum. Kemudian, Syabda dengan luar biasa mampu menempatkan shuttlecock yang menyulitkan Lee. Ketika Lee mengembalikan pukulan itu dengan canggung, Syabda langsung menyantapnya dengan smes keras dan akurat. Syabda berhasil meraih 11 angka beruntun, berbalik unggul, dan memenangkan game pertama dengan skor nyaman 21-14.
Pada game kedua, Syabda memang harus mengakui keunggulan Lee dengan skor cukup telak 11-21. Tapi momen terbaik itu kembali datang pada game ketiga. Saat itu, Syabda kembali tertinggal lumayan jauh 7-12. Tetapi dia lagi-lagi mampu membalikkan keadaan dengan smes-smes tajam andalannya. Dengan luar biasa, Syabda mencetak 9 angka beruntun.
Sorakan semakin nyaring terdengar, daya juang Syabda semakin menyala, senyuman mulai merekah di garis wajahnya. Dan ketika shuttlecock pengembalian Lee melebar, Syabda melemparkan raketnya, mengempalkan tangan, berteriak kencang, dan mencium Merah Putih di dadanya.
Syabda yang menjadi debutan Piala Thomas, sukses menjadi pahlawan kemenangan Indonesia atas Korea Selatan. Syabda menang dengan skor akhir 21-14, 11-21, dan 21-16. Indonesia menyapu bersih tiga kemenangan dan menjadi juara grup A.
"Saya sangat bersyukur dan senang bisa jadi penentu kemenangan buat tim. Ini tidak lepas dari dukungan para senior dan idola saya di tim," kata Syabda usai pertandingan dikutip dari siaran resmi PP PBSI.
Indonesia memang akhirnya tidak mampu mempertahankan gelar Piala Thomas. Pada final, India secara mengejutkan mengandaskan juara bertahan Indonesia dengan skor telak 0-3. India mengukir sejarah besar, untuk kali pertama menjadi juara Piala Thomas.
Tetapi, penggemar bulu tangkis Indonesia tetap mengingat penampilan Syabda yang luar biasa. Pada panggung terbesar, Syabda telah memperkenalkan diri sebagai calon andalan tunggal putra Indonesia di masa depan.
Hati Syabda terpikat dengan bulu tangkis saat masih duduk di bangku sekolah dasar. Rasa cinta itu muncul saat dia sering melihat sang ayah bermain bulu tangkis bersama teman-temannya. Ayahnya pun mengajak Syabda untuk bergabung dengan PB Jaya Raya untuk melatih kemampuannya.
Tekad Syabda untuk bermain bulu tangkis semakin kuat. Ketika duduk di bangku SMP, dia berhasil menembus PB Djarum melalui jalur audisi umum pada 2013. Demi bulu tangkis, Syabda harus mengambil pilihan pelik. Dia meninggalkan kedua orang tuanya di Bekasi untuk menimba ilmu di Kudus.
Ayah dan ibu Syabda sebenarnya tidak terlalu setuju dengan keputusan itu. Mereka tidak rela melepas anaknya yang masih sangat muda untuk tinggal sendirian di luar kota. Tetapi tekad Syabda terlalu kuat. Syabda yang saat itu berusia 12 tahun lantas meyakinkan kedua orang tuanya bahwa itu pilihan paling tepat dalam hidupnya.
Kebulatan hati itu terus dia tunjukkan setiap kali harus kembali ke Kudus setelah liburan. Pada usia 15 atau 16 tahun, Syabda rela naik bus sendirian dari Bekasi ke Kudus karena tidak ingin menyusahkan kedua orang tuanya. Sang ibu kerap kali menangis tiap kali melepaskan kepergian Syabda di terminal. Sang Ibu merasa melankolis melihat anak lelakinya tumbuh dewasa dengan cepat.
Karier Syabda di bulu tangkis memang cepat. Namun, Piala Thomas 2022 telah menghadirkan kenangan sangat manis bagi Syabda dan seluruh penggemar bulu tangkis Indonesia. Dia menjalani debut, mengemban tugas penting, dan berakhir dengan kegemilangan. Usai gelaran Piala Thomas, dia bahkan sempat berfoto dengan salah satu idolanya, pemain nomor satu dunia dari Denmark, Viktor Axelsen.
Foto yang diambil dengan bantuan Ginting itu, Syabda unggah ke akun Twitter-nya dan mendapatkan balasan penuh canda dari sang idola. “Jika kamu mengalahkan saya nanti, saya tidak akan mau berfoto denganmu lagi,” begitu tulis Axelsen.
Namun, impian-impian Syabda untuk mengikuti World Tour bersama para seniornya, berlaga di turnamen-turnamen besar seperti All England, bahkan mungkin suatu hari mengalahkan Axelsen, tidak pernah terealisasi. Tuhan cepat memanggilnya, dalam usia yang masih sangat muda. (*)
Tulisan ini mendapatkan bantuan dari Rizaldy Prasetya