Sampai Kapan Menunda Putus Asa kepada Sepak Bola Indonesia?
SEPAK bola Indonesia itu layaknya labirin tak berujung. Berputar-putar di koridor kelam yang sama tanpa petunjuk arah. Sejenak terpantul secercah cahaya di ujung lorong. Serentak dengan gegap gempita penuh pengharapan kita menuju ke sana. Ternyata hanya fatamorgana.
Pada akhirnya, kita tidak ke mana-mana. Hanya berkelana tanpa arah. Sekadar mengulang langkah-langkah tak berfaedah. Bersorak atas kemenangan kecil tanpa makna. Namun, tersungkur sebelum mengarak piala. Lalu kehilangan muka dan menyalahkan siapa saja, selain diri sendiri yang tiada berguna.
Bukan sekadar kegagalan Shin Tae-yong. Bukan pula Luis Milla. Kegagalan kita di sepak bola agaknya sudah dikodratkan sebelum sepak mula. Kita gagal dalam berencana dan berujung kemarahan tidak berguna. Toh, pada akhirnya kita akan mengambil jalan yang sama. Titian menuju kemalangan.
Kegagalan demi kegagalan sejak 1991 menunjukkan kita tidak pernah benar-benar belajar. Manusianya berganti, tapi sistemnya tetap dirawat agar rusak dan berkarat. Sejak era Nurdin Halid, sudah lebih dari satu dekade, ada 13 kali kongres dihelat, tapi berapa kali ada perubahan regulasi untuk perbaikan?
Perubahan di statuta PSSI tidak lebih dari sekadar melanggengkan status quo yang telah terang benderang gagal menghasilkan prestasi. Ketua umum memang ganti orang, tapi penopangnya tetap struktur yang serapuh rumah kartu. Bicara prestasi, silakan bermimpi. Basi.
Baca selengkapnya...