Pemberontakan yang Mengantarkan An Se-young Menuju Musim Terhebatnya
UNTUK memahami kekuatan mental yang didemonstrasikan tunggal putri nomor satu dunia An Se-young di lapangan, kemampuannya untuk terus berlari meskipun didera kram hebat, atau ketenangannya pada poin-poin kritis, kita agaknya harus menelusuri asal-usul pembentukan karakternya.
Narasi tentang bakat alam sering kali mengabaikan peran krusial dari nurture alias pola asuh dan pewarisan nilai dari orang tua. Darah atlet level elite memang mengalir deras dalam nadi Se-young. Ayahnya, An Jung-hyun, bukanlah figur atlet biasa-biasa saja di Korea Selatan.
Jung-hyun adalah mantan petinju nasional yang pernah mewakili Korsel di Asian Games 1994, Hiroshima, Jepang. Koneksi antara tinju dan pemain tunggal bulu tangkis mungkin sekilas tidak tampak jelas. Namun secara psikologis dan fisiologis, keduanya punya irisan mendalam.
Dalam tinju, seorang atlet berdiri sendirian di dalam ring. Tak ada rekan setim yang membantunya dalam situasi kritis dan mendesak. Tak ada tempat untuk bersembunyi. Tanggung jawab atas kemenangan dan kekalahan bersifat absolut dan individual.
Mentalitas petarung tunggal inilah yang diwariskan Jung-Hyun kepada putrinya. Se-young sendiri mengakui dalam berbagai kesempatan bahwa kekuatan mental atau mental fortitude yang dia miliki, sangat dipengaruhi oleh latar belakang tinju milik ayahnya.
Melalui performa Se-young sepanjang 2025, kita sebenarnya dapat melihat manifestasi dari DNA tinju ini. Hal utama adalah resiliensi Se-young terhadap rasa sakit. Seperti petinju yang terbiasa menerima pukulan dan berusaha tetap tegar berdiri, Se-young punya ambang batas rasa sakit yang sangat tinggi.
Baca selengkapnya...