Pele, Kau Membuat Brazil Menemukan Kebanggaannya
SEEKOR anjing kampung tidak pernah setara dengan anjing ras murni. Kiasan yang dipakai seorang penulis Nelson Rodrigues pada 1950 untuk menggambarkan negaranya, Brazil. Sebuah bencana psikologis dalam pola pikir masyarakat Brazil yang menganggap diri mereka inferior. Diperparah dengan stigma rasial.
Publik Brazil tidak pernah melupakan Maracanazo. Hanya butuh imbang untuk juara Piala Dunia 1950 di rumah sendiri, Brazil justru kalah. Kiper berkulit hitam Moacir Barbosa jadi kambing hitam abadi. Saat itu Brazil turun dengan tujuh pemain keturunan Afrika, sedangkan Uruguay didominasi pemain kulit putih.
Complexo de vira-lata. Layaknya anjing kampung dengan ras campuran, Brazil memiliki penduduk dari berbagai ras dan etnis. Hal yang saat itu dipercayai tidak akan pernah membuat mereka setara dengan negara-negara maju lainnya yang didominasi penduduk berkulit putih.
Sialnya, saat itu masyarakat Brazil mempercayai itu sebagai kebenaran. Bahkan, kesesatan itu diamini Dondinho, seorang pesepak bola sekaligus ayah dari Edson Arantes do Nascimento alias Pele. Kekecewaan mendalam dirasakan Dondinho yang mendengarkan siaran langsung final Piala Dunia 1950 dari radio.
Pelé yang masih berusia sembilan tahun bermain sepak bola sambil berlari keluar-masuk rumahnya di Três Corações untuk memeriksa skor secara berkala. Ketika peluit panjang dibunyikan untuk kali pertama dalam hidupnya Dondinho menangis di depan anaknya.
Pelé kecil belum tahu apa-apa. Dia tidak tahu apakah ada negara lain yang lebih maju dari Brazil di luar sana. Baginya, Brazil adalah negara paling indah di dunia. Itulah mengapa dia berjanji kepada sang ayah untuk membawa pulang trofi Jules Rimet itu kembali ke Brazil suatu hari nanti saat dia dewasa.
Baca selengkapnya...