Ketum PSSI Baru, Kompetisi Bikin Baru, tapi Masih Problem Lama
BANDUNG seperti kota mati. Semua mata tertuju kepada pertandingan final Persib Bandung versus PSM Makassar di Stadion Utama Senayan pada 17 April 1994 yang disiarkan TVRI. Puluhan ribu Bobotoh berangkat ke ibu kota. Mereka menjadi saksi berakhirnya sebuah era.
Saya mengutipnya dari koran Pikiran Rakyat, lebih dari 100 bus rombongan Bobotoh berangkat ke Jakarta. Belum lagi mereka yang menggunakan kereta api dan kendaraan pribadi. Persib dengan formasi 3-5-2 besutan Indra Thohir membuat publik Bandung pesta pora.
Gol dari Yudi Guntara dan Sutiono Lamso membuat PSM tak berdaya. Sorak sorai terdengar seantero Bandung. Keesokan harinya, jalanan di kota kembang dibanjiri manusia yang menyambut kedatangan Robby Darwis dkk. Itulah akhir dari kompetisi Perserikatan.
Setelah itu, Perserikatan dan Galatama dilebur jadi satu. PSSI menginginkan sebuah kompetisi profesional. Semua klub dari strata teratas Perserikatan dan Galatama tergabung dalam Liga Indonesia Divisi Utama. Masih menggunakan format dua wilayah: barat dan timur.
Seiring waktu berjalan, nama dan format kompetisi terus berubah. Pada 2008, level teratas bernama Indonesia Super League (ISL). Sempat pecah pada 2011 dengan adanya Indonesian Premier League (IPL). Karena banned FIFA pada 2015, dibikin kompetisi pengganti bernama Indonesia Soccer Championship (ISC).
Begitu banned dicabut dan Edy Rahmayadi naik menjadi ketua umum baru PSSI, digagaslah format baru dengan Liga 1 sebagai level teratas, lalu ada Liga 2 dan Liga 3. Format itu hanya bertahan enam tahun. Kini, segera berganti dengan format baru di bawah ketua umum PSSI Erick Thohir.
Baca selengkapnya...